Gaya Belajar Tokoh Besar Terdahulu yang Harus Milenial Tiru

Gaya Belajar Tokoh Besar Terdahulu yang Harus Milenial Tiru

Ulama besar yang memiliki ilmu luar biasa tidak terlepas dari gaya belajar yang sama istimewanya.

infoabadi Di zaman yang sudah semakin berkembang, belajar sangat dimudahkan karena banyaknya fasilitas penunjang. keuntungan in ternyata dapat dioptimalkan oleh siapa saja untuk meraih ilmu.

Meraih ilmu bukanlah hal yang mudah, namun juga bukan sesuatu yang amat sulit hingga orang tak bisa mendapatkannya. Kita bisa mencontoh kepada para ulama terdahulu yang sudah meniti perjalan luar biasa dalam belajarnya.

Lembaga donasi kemanusiaan Abadi telah merangkum gaya belajar ulama terdahulu yang bisa milenial tiru. Yuk simak sampai habis!

Imam Nawawi Tak Kenal Tidur Demi Belajar

Keterangan: Ilustrasi Waktu Bermanfaat (Foto: Suara Muslim)

Imam Nawawi adalah seorang ulama syafi’iyah yang terkenal dengan karyanya, yaitu kitab Riyadusshalihin. Aktivitas kesehariannya menunjukkan sebagai orang yang selalu memanfaatkan waktu dengan baik.

Pada waktu siang atau malam hari, Imam Nawawi selalu menyibukkan diri dengan ilmu. Bahkan beliau sampai tak kenal tidur demi belajar. Pada saat berjalan pun, beliau terus-menerus mengulang pelajaran yang sudah didapatkannya.

Setelah ilmu itu dikuasai, beliau banyak menghabiskan waktu untuk menulis dan mengambil faedah dari ilmu, memberi nasihat dan menyebarkan kebenaran.

Imam Syafi’I Selalu Dahulukan Adab Sebelum Ilmu

Keterangan: Ilustrasi Imam Syafi’i yang Sangat Menghormati Guru (Foto: Risalah Sufisme)

Imam Syafi’i adalah ulama cerdas yang menamatkan hafalan Alquran di usia 7 tahun. Beliau juga terkenal dengan hafalan hadis-hadisnya.

Imam Syafi’i selalu mendahulukan adab sebelum ilmu. Beliau sangat menghormati guru dalam keadaan apapun. Bahkan Imam Syafi’i rela menunggu di depan rumah gurunya dalam waktu yang sangat lama demi mendapatkan ilmu.

Imam Ahmad Tetap Rendah Hati

Keterangan: Ilustrasi Imam Ahmad Rendah Hati Tak Inginkan Hadiah Dari Siapapun (Foto: Daily Sabah)

 

Imam Ahmad adalah seorang ahli fikih dan pakar hadis di zamannya. Beliau berhasil menghafalkan Alquran secara sempurna saat usia 10 tahun. Setelah itu barulah mempelajari hadis.

Pada usia remaja, Imam Ahmad bekerja sebagai tukang pos untuk membantu perekonomian keluarga. Namun di tengah kesibukannya, beliau tetap membagikan waktunya untuk mempelajari ilmu dari tokoh-tokoh ulama hadis di Baghdad.

Setelah menjadi ulama besar, Imam Ahmad tetap hidup sederhana dan menolak untuk  kehidupan mewah. Beliau sangat menjaga rendah hati dan menghindari hadiah-hadiah terutama dari para tokoh politik.

 

Baca Juga: 10 Lintasan Ekstrem Menuju Sekolah di Dunia 

Imam Abu Hanifah, Belajar Kepada Tukang Cukur

Keterangan: Ilustrasi Imam Abu Hanifah (Foto: Bincang Syariah)

 

Imam Abu Hanifah adalah seorang ulama besar pelopor dalam ilmu fikih yang sangat tawadhu. Beliau belajar kepada siapa saja yang ditemui. Baginya bukan masalah siapa yang menyampaikan, melainkan apa yang disampaikan.

Pada suatu waktu, setelah beliau melakukan manasik haji lalu pergi ke tukang cukur rambut untuk mencukur rambutnya. Dalam peristiwa itu, tukang cukur yang ditemuinnya memberikan 5 ilmu tentang masalah dalam ibadah haji.

Ilmu tersebut baru diketahui oleh Imam Abu Hanifah, di antaranya pada saat mencukur rambut yang merupakan ibadah ini tidak perlu mengsyaratkan uang tapi bertawakal saja kepada Allah, harus menghadap kiblat, mendahulukan rambut bagian kanan, membaca takbir, dan salat sunnah dua rakaat sebelum pergi meninggalkan.

Ulama Hadist Zaman Tabi’in, Mencocokkan Materi dan Menghafalkannya

Keterangan: Ilustrasi Laki-Laki Sedang Mengkaji Ilmu (Foto: Sewiran)

 

Ulama zaman tabi’in memiliki kebiasaan untuk membawa serta buku dan pena saat datang ke kajian ilmu. Di lingkaran kajian, setiap dari mereka mencari hadis serta mencatatnya di buku yang mereka bawa.

Di malam hari, para ulama hadist tersebut biasa duduk bersama untuk mencocokkan materi yang ditulis oleh masing-masing. Setiap ulama saling memastikan kembali, apakah materi yang dicatat sudah lengkap, adakah lafal hadis yang kurang, atau pilihan diksi yang keliru. Setelah semua materi dipastikan benar, semua kompak menghafalkannya.

Al-A’masy, seorang ahli hadis pada masa tabi’in mengatakan, bahwa jika ilmu yang kita catat tidak dihafal, maka hal tersebut diibaratkan manusia yang makan tidak melalui mulut. Makna lainnya, orang tersebut sekadar memasukkan makanannya melalui anggota tubuh bagian belakang, sehingga tidak ada rasa kenyang yang bisa mereka rasakan. Begitu pula halnya jika ilmu hanya membekas di catatan.

Gaya belajar para ulama yang luar biasa tersebut bisa milenial tiru di zaman sekarang. Mereka telah menjadi tauladan bagi kita semua.(izzah/infoabadi)

Sumber: Rumaysho, Dakwatuna, Yufid TV

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *