“Apa Harus Nunggu Kami Mati Semua, Pemerintah Baru Kirim Bantuan?”

“Apa Harus Nunggu Kami Mati Semua, Pemerintah Baru Kirim Bantuan?”

Lombok–Wajah Supriadi tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Sekertaris Desa Gondang, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara ini kesal bercampur bingung. Sudah lebih dari sepekan, warga Dusun Lekok, Desa Gangga, mengungsi akibat gempa dengan magnitude 7,0 skala richter yang terjadi pada Minggu (7/8) lalu.

Tapi, kebutuhan paling mendasar yang mereka butuhkan saat ini, yakni tenda peleton, begitu sulit didapatkan.

‘’Saya sudah datang ke kantor Kecamatan Gangga, dan Kecamatan Tanjung sebagai posko utama di Lombok Utara. Jawabannya bikin kesal. Saya harus bikin dulu surat pengajuan resmi untuk tenda peleton yang ditandatangani oleh sekdes dan kades dan harus di cap. Ini kan darurat. Kantor desa juga hancur. Bagaimana kami harus bikin surat-surat. Capnya juga entah terkubur di reruntuhan mana,’’ keluh Supriadi.

Supriadi menilai, kondisi darurat yang menimpa warga Lombok, khususnya Desa Gondang, akibat gempa bumi jangan dijawab dengan persyaratan birokrasi sebagaimana kondisi normal. Bayangkan saja, kata dia, saat terjadi gempa, warga mengungsi hingga ke kaki bukit yang jaraknya lebih dari 700 meter dari pemukiman.

Letak pemukiman warga, khususnya Dusun Lekok hanya berjarak 200 meter dari pantai. Jika terjadi tsunami, sudah pasti pemukiman warga bakal tersapu. Untungnya ancaman tsunami tak terjadi. Meski demikian, ratusan rumah warga hancur.

Sejak kejadian, kata dia, warga mengungsi di delapan titik pengungsian. Salah satunya terletak di lahan pertanian di kaki bukit.

‘’Lahan ini sebenarnya sudah siap untuk tanam padi. Tapi, kami mau mengungsi kemana lagi?’’ungkap Supriadi.

Kondisi pengungsi di Dusun Lekok begitu memprihatinkan. Mereka mendirikan tenda dari terpal yang biasa digunakan untuk mengeringkan gabah. Ukuran tendanya hanya 4 x 6 meter. Tenda sekecil ini dihuni 5-6 kepala keluarga atau 20-24 orang. Tenda-tenda ini berkumpul di satu titik di sebuah ladang. Untuk menahan angin supaya tidak masuk ke dalam tenda, pengungsi memasan daun-daun kelapa kering.

Untuk shalat, mereka mendirikan mushola darurat yang atapnya terbuat dari pelepah daun kepala kering. Berlantaikan terpal, mushola darurat ini pun digunakan untuk mengaji anak-anak mereka. Total pengungsi yang ada di sini mencapai 275 KK.

Sejak lokasi pengungsian ini didirikan, mereka batu menerima bantuan satu tenda Badan Nasional Penganggulangan Bencana (BNPB). Itupun ukuran kecil.

‘’Kalau untuk bantuan makanan, seperti mie instan, beras, air mineral, suka dikasih sama relawan. Bukan dari pemerintah. Kalau tidak ada bantuan dari para relawan, mungkin kami sudah mati,’’ungkap Supriadi dengan tegas.

Tim Relawan Yayasan Harapan Amal Mulia, yang bekerja sama dengan Amal Bhakti Dunia Islam (Abadi) dan For Humanity mencoba membantu mengurangi beban para pengungsi.

‘’Kami akan mencoba mendirikan MCK darurat. Kasihan, selama ini pengungsi hanya menggunakan air irigasi sawah,’’ungkap Abdul Qodir, Koordinator relawan Amal Mulia.

Ditambahkan Mang Oding, demikian Abdul Qodir biasa disapa, kondisi pengungsi serupa seperti di Dusun Lekok ini banyak ia temui di lapangan. Pemerintah dan beberapa lembaga, kerap hanya menyalurkan bantuan ke lokasi-lokasi pengungsian yang dekat dengan jalan raya. Padahal, masih banyak titik pengungsian yang berada jauh dari jalan lantaran mereka khawatir akan terjadi gempa susulan yang menimbulkan tsunami.

‘’Bantuan masih tidak merata. Kami akan terus menyisir lokasi-lokasi pengungsi yang berada di pedalaman. Kasihan, mungkin mereka belum memperoleh bantuan sama sekali,’’pungkas Mang Oding.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *