ABADI, Lombok – Bencana yang acap kali terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, seolah menenggelamkan isu Lombok yang ternyata masih belum pulih pasca gempa yang mengguncangnya awal Agustus 2018 lalu.
Sudah lebih dari tiga bulan korban gempa Lombok harus tinggal di tenda pengungsian. Sementara hujan mulai datang, Hunian Sementara (Huntara) yang dijanjikan pun belum juga terealisasi. Tenda-tenda sederhana pun menjadi pelindung utama para korban gempa.
Produksi rumah instan sederhana sehat ( risha) bagi korban juga masih jauh dari target. Berbagai kendala teknis dan administrasi menjadi salah satu kendala terhambatnya pembangunan, sebagaimana dilansir dari Kompas.
Gempa yang mengguncang Lombok beberapa waktu lalu mengakibatkan 75.000 unit rumah warga rusak. Dari jumlah tersebut, hanya 40 persen atau sekitar 30.000 unit yang diizinkan pemiliknya untuk dibangun kembali dengan menggunakan teknologi Risha.
Sejumlah Warga Masih Dihantui Trauma
100 hari berlalu luka fisik mungkin sudah kembali pulih, namun trauma masih terus menghantui. Seperti penuturan salah satu warga Lombok, Budi Wicaksono. Guru di SMA N 1 Bayan, Lombok Utara ini mengatakan gempa yang terjadi tiga bulan lalu membawa trauma panjang baginya. Apalagi, tiga siswanya menjadi korban tewas dan seorang siswa lainnya diamputasi salah satu kakinya.
“Sewaktu gempa dia sedang di pantai. Kakinya terjepit antara beton jembatan dan jalan, harus diamputasi. Dia sudah sekolah sekarang, dan penuh semangat,” kata Budi.
Lombok masih berduka, trauma dan tangis masih terdengar di mana-mana. Ribuan rumah hancur dan memaksa warga tinggal beratapkan tenda, yang tak cukup melindungi dari terikknya siang atau menusukknya suhu malam.
Masyarakat Lombok belum mampu melepas pulih dengan kakinya sendiri. Tak ada pekerjaan, atau pun penghasilan. Kepedulian dan dukungan dari saudara-saudara masih sangat dibutuhkan masyarakat Lombok (history/abadi)
Sumber: Kompas, Voa Indonesia